Selasa, 26 November 2013

FUDHAIL BIN ‘IYADH

Dia adalah Abu Ali, Fudhail bin’ ‘Iyadh bin Mas’ud bin Basyar At-Tamimi. Lahir di kota Khurasan, tepatnya di daerah Muru. Ayahnya dikenal sebagai seorang yang takut kepada Allah. la mempunyai dua orang anak, Ali dan Abu Ubaidah, yang dinyatakan olehnya, “Aku benar-benar mencintainya karena ia mendampingiku saat aku telah tua.” Ia juga memiliki pembantu yang pandai bernama Ibrahim bin Al-Asy’ats. Darinya, Ibrahim mengambil ilmu dan Hadits. Selain pembantu, ia pun memiliki keledai. Fudhail berkata, “Sungguh aku mengetahui diriku benar-benar maksiat kepada Allah melalui bumknya perangai pembantu dan keledaiku.” Fudhail juga bekerja mengurusi kesejahteraan air minum para jamaah haji di samping mengurusi kebutuhan keluarganya. Fudhail berkata, “Engkau telah menjadikan aku dan keluargaku lapar dan Engkau biarkan aku berada dalam kegelapan malam tanpa lampu. Sesungguhnya Engkau melakukan seperti halnya terhadap para kekasih-Mu. Lalu dengan kedudukan apakah aku mendapatkan semua ini dari-Mu?”
Di awal hidupnya, Fudhail, selama beberapa waktu, sempat menyimpang. Fudhail bin Musa berkata, “Fudhail bin Iyadh dahulunya seorang perampok di bawah kekuasaan Ayburad dan Sarkhas, namun kemudian ia bertaubat. Sebab taubatnya ialah bahwa ia mencintai seorang wanita. Ketika sedang menaiki sebuah dinding untuk menemui kekasihnya itu, tiba-tiba ia mendengar seseorang sedang membaca ayat, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun [kepada mereka].” (QS. al-Hadid: 16) Ketika mendengar itu, ia menjawab, “Tentu wahai Tuhanku, telah tiba saatnya.” la segera pulang, namun malam membawanya singgah di sebuah bangunan runtuh yang ternyata di dalamnya terdapat beberapa orang yang juga kemalaman. Salah seorang dari mereka berkata kepada yang lainnya, “Mari kita melanjutkan perjalanan.” Temannya menyahut, “Bagaimana kalau di tengah perjalanan ada Fudhail?” Fudhail mendengar percakapan itu. la merenungkannya lantas berkata, “Namaku disebut-sebut di malam hari dalam kemaksiatan sedangkan mereka merasa takut kepadaku. Tidaklah Allah menunjukkanku kepada mereka, melainkan agar aku sadar. Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu.”
Lalu Fudhail pergi ke Kufah untuk menuntut ilmu. Dia pun akhirnya menjadi seorang yang ahli dalam Hadits. Fudhail berpaling dari kemewahan duniawi. Sekalipun ribuan dinar di sodorkan kepadanya dari para penguasa dan raja, namun ia menolaknya. ia tidak ingin memasukkan ke dalam perutnya. Kecuali yang jelas-jelas halal karena mengamalkan firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang halal dan yang baik dari apa yang ada di bumi.” Dia selalu mengingat cerita Sa’ad bin Abi Waqqash saat bertutur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdo’alah kepada Allah agar aku menjadi orang yang do’anya dikabulkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hai Sa’ad, bersihkanlah makananmu, niscaya do’amu dikabulkan. Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya seseorang manakala memasukkan ke dalam dirinya makanan haram, maka ibadahnya ditolak selama empat puluh hari. Dan siapa saja yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, maka neraka paling layak baginya.” Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, tidak menerima, kecuali yang baik.”
Fudhail adalah seorang faqih yang mumpuni. Mengenai ibadah dia pernah berkata, “Seorang hamba tidak akan mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang lebih baik daripada ibadah fardhu. Ibadah fardhu adalah modal, sedangkan nawafil (amalan sunnah) adalah keuntungan.” Ucapannya ini dipetik dari sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits qudsi yang beliau riwayatkan dari Rabbnya, “Barangsiapa memusuhi wali (kekasih)-Ku, maka Aku menyatakan perang dengannya. Tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai dari apa yang Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba-Ku akan selalu bertaqarrub kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia berbuat, serta menjadi kakinya yang dengannya ia melangkah. Manakala ia meminta kepada-Ku, Aku sungguh memberinya dan jika memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar memberinya perlindungan.” (Muttafaq ‘alaih)
Fudhail banyak memberikan nasihat-nasihat. Di antara ungkapan-ungkapan nasihatnya ialah:
§ “Jauhilahmanusiatanpaharusmeninggalkanjama’ah.”
§ “Siapa saja yang mencintai pelaku bid’ah, maka amalnya akan dihapus oleh Allah dan akan dikeluarkan dari relung kalbuny a cahaya Islam.”
§ “Barangsiapa membantu pelaku bid’ ah, berarti ia membantu menghancurkan Islam.”
Pandangan Fudhail bin ‘lyadh tentang Kekuasaan
Fudhail memberi sangat membenci kekuasaan politis. Mengenai hal ini Fudhail berkata, “Seseorang mendekati bangkai yang berbau busuk jauh lebih baik daripada mendekati mereka para penguasa.” Ia juga berkata, “Seandainya ulama bersikap zuhud terhadap dunia, pasti leher-leher para penguasa tiran akan tunduk kepada mereka.” Dia pernah memberi nasihat kepada Imam Suryan bin ‘Uyainah, seorang ulama besar, “Kalian, wahai para ulama, adalah lampu yang menerangi negeri. Tetapi, kemudian kalian menjadi lapisan kegelapan. Kalian adalah bintang yang dijadikan pedoman, namun setelah itu kalian menjadi sesuatu yang membingungkan. Tidakkah seseorang dari kalian malu kepada Allah bila datang kepada para penguasa lalu mendapatkan harta dari mereka, sementara ia tidak mengetahui dari mana asalnya harta itu. Kemudian ia kembali mengajar dengan bersandar pada mihrab seraya berkata, “Si Fulan telah raenceritakan kepadaku dari Si Fulan.” Ia juga berkata, “Mengapa kalian mendekati para penguasa? Padahal betapa besar pemberian mereka kepada kalian; mereka telah meninggalkan jalan akhirat untuk kalian, sementara kalian justru berdesak-desakan di atas jalan dunia.”
Harun al-Rasyid memiliki jalan menuju kemewahan hidup, namun terkadang ia memiliki rasa takut yang sangat kepada Allah. Ia berkata kepada Fudhail, “Betapa zuhudnya engkau.” Fudhail membalas, “Engkau lebih zuhud dariku. Karena zuhudku terhadap dunia dan ia memang sesuatu yang fana, sedangkan zuhudmu terhadap akherat, padahal ia abadi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar