Selasa, 26 November 2013

Kriteria Makanan Halal Menurut Al-Quran dan As-Sunnah


Kriteria Makanan Halal Menurut Al-Quran dan As-Sunnah

Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan
[1] yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:
أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ
“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya”.
Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis:
  1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya.
  2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain sebagainya.
Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka disitu ada kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram.
[Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya Al-Fauzan]
Sebelum kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing, maka untuk lebih membantu memahami pembahasan, kami dahului dengan beberapa pendahuluan.
  • Pendahuluan Pertama: Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya.
Allah -Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.
Dalam ayat yang lain:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)
Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal[2].
Faidah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah: 93)
Karenanya tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan digunakan untuk maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang yang akan minum-minum khamar atau akan menggunakannya dalam kejelekan”[3].
  • Pendahuluan Kedua: Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah “Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung mudhorot”.
Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 168)
Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157)
Allah melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan diri, dalam firman-Nya:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 195)
Juga sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.
Karenanya diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya.
Adapun makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Faidah:
  1. Makna makanan yang najis adalah jelas, adapun makanan yang ternajisi, contohnya adalah mentega yang kejatuhan tikus. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang lemak yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda:
أُلْقُوْهَا, وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوْهُ، وَكُلُوْا سَمَنَكُمْ
“Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak kalian”. (HR. Al-Bukhary)
Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.
  1. Makanan yang jelek (arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena dzatnya -seperti: darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah dalam memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu‘ Al-Fatawa (20/334).
  2. Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits (jelek), maka hal ini dikembalikan kepada syari’at. Maka apa-apa yang dihalalkan oleh syari’at maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang diharamkan oleh syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah madzhab Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau.
Adapun jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara oleh syari’at. Lihat Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu(9/25-26), dan Asy-Syarhul Kabir (11/64).
Hanya saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah -Ta’ala-:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4)
Beliau berkata, “Seandainya makna “yang baik” di sini adalah apa yang dihalalkan, maka tentunya kalimat ini tidak ada faidahnya[4]. Maka dari sini diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits adalah sifat yang berada pada sebuah benda, dan bukan yang diinginkan dengannya (thoyyib) sekedar kelezatan dalam memakannya. Karena terkadang seorang manusia menikmati (merasa lezat) dengan apa yang membahayakan dirinya yang berupa racun[5], atau menikmati apa yang dilarang oleh dokter[6]. Dan bukan pula yang diinginkan darinya (thoyyib) dengan merasa nikmatnya sebagian bangsa -misalnya bangsa Arab- terhadap suatu makanan, dan bukan pula dianggap thoyyib karena keberadaannya sebagai makanan yang biasa dimakan (dinikmati) oleh orang-orang Arab. Hal itu karena, keberadaan suatu makanan biasa dimakan dan disenangi oleh sebagian bangsa atau sebaliknya mereka tidak menyukainya karena makanan itu tidak ada di negerinya, (semua ini) tidaklah mengharuskan Allah mengharamkan sebuah makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak mengharuskan Allah menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) terbiasa dengannya. Bagaimana tidak, padahal orang-orang Arab (dahulu) telah terbiasa (menyukai) dengan memakan darah, bangkai, dan selainnya padahal semuanya telah diharamkan oleh Allah -Ta’ala-. …. . Demikian halnya Quraisy, mereka memakan yang khobits yang telah Allah haramkan dan sebaliknya mereka tidak menyukai makanan-makanan yang Allah tidak mengharamkannya”. -Lalu beliau membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan biawak, bukan karena dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa memakannya[7]-. “Maka dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku Quraisy dan selainnya (dari bangsa Arab) terhadap sebuah makanan tidaklah mengharuskan (baca: menunjukkan) pengharaman makanan tersebut atas segenap kaum mu`minin baik yang Arab maupun yang ajam (non-Arab). Dan juga sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, tidak seorangpun di antara mereka yang mengharamkan makanan yang tidak disukai oleh orang Arab dan sebaliknya tidak pernah membolehkan apa yang (biasa) dimakan oleh orang Arab”[8].
  • Pendahuluan Ketiga: Makanan manusia secara umum ada dua jenis:
  1. Selain hewan, terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya).
Ibnu Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot.
  1. Hewan, yang terdiri dari hewan darat dan hewan air.
Hewan darat juga terbagi menjadi dua;
  1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak
  2. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya.
Hukum hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan oleh syari’at[9], yang rinciannya insya Allah akan datang satu persatu.
Hewan air juga terbagi menjadi 2:
  1. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
  2. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting[10].
Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
  1. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
  2. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya[11]. Lihat Al-Majmu(9/32-33)

[1] Arab: tho’am, kata yang mencakup di dalamnya makanan dan minuman. Lihat Tahdzibul Asma` (2/186).
[2] Majmu‘ Fatawa Ibni Taimiyah (21/535)
[3] Al-Ikhtiyarot hal. 321.
[4] Yakni karena berarti ayatnya akan bermakna, “dihalalkan bagi kalian yang halal”, sehingga kalimatnya tidak memiliki faidah tambahan.
[5] Seperti: narkoba dengan semua jenisnya, rokok, dan selainnya.
[6] Yakni untuk kesembuhannya dari sebuah penyakit.
[7] Akan datang haditsnya pada point ke-19
[8] Majmu‘ Al-Fatawa (17/178-180) dan Al-Iktiyarot hal. 321.
[9] Manhajus Salikin (hal. 52)
[10] Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby (6/318) dan Al-Majmu(9/31-32)
[11] Akan datang dalil pengharamannya pada penyebutan makanan yang ke-21.
o�A<001 �� eight: normal;tab-stops:45.8pt 91.6pt 137.4pt 183.2pt 229.0pt 274.8pt 320.6pt 366.4pt 412.2pt 458.0pt 503.8pt 549.6pt 595.4pt 641.2pt 687.0pt 732.8pt'>mengapung. Makna ini dipahami dan  sejalan  dengan  penjelasan
Rasul   Saw.   yang   diriwayatkan   oleh   Bukhari,   Muslim,
At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu
Hurairah yang menyatakan tentang laut:

    Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya

Ini  menurut  banyak  ulama  sejalan  juga dengan firman Allah
dalam surat Al-Ma-idah (5): 96.

Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di
darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan
para ulama, apalagi ia  bukan  datang  dari  Al-Quran,  tetapi
riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw.

Adapun  hewan  yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan
secara eksplisit  al-an'am  (unta,  sapi,  dan  kambing),  dan
mengharamkan  secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa
selainnya semua halal atau haram.

Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang  pengecualian  dari
makanan  yang  dihalalkan,  dalam soal ini ditemukan perbedaan
pendapat ulama tentang  hewan-hewan  darat  yang  dikecualikan
itu.

Imam  Malik  misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut,
karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,

    Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
    kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang
    hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
    atau darah yang mengalir atau daging babi karena
    sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang
    disembelih atas nama selain Allah...

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram
dalam   batas-batas   yang  disebut  itu,  apalagi  masih  ada
ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang  juga  memberi
pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.

Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis
Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan  ayat
tersebut.  Karena  walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk
hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud
sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip
di atas adalah karena ia rijs (kotor).

Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya  mengetahui  sisi-sisi  rijs
(kekotoran)  baik  lahiriah  maupun  batiniah yang diakibatkan
oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa  segala  macam
binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah.
Di sinilah antara lain  fungsi  Rasul  Saw.  sebagai  penjelas
kitab  suci  Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi
Muhammad Saw. antara 1ain sebagai:

    Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan
    mengharamkan yang khabits (buruk).

Nah, atas dasar  inilah  dipertemukan  hadis-hadis  Nabi  yang
mengharamkan  makanan-makanan  tertentu  dengan ayat-ayat yang
menggunakan redaksi pembatasan di atas.  Misalnya  hadis  yang
mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang
memiliki cakar (buas), binatang yang hidup  di  darat  dan  di
air, dan sebagainya.

Di  samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu,
mengharamkan:

Memakan sembelihan yang disembelih  selain  atas  nama  Allah,
atau dalam bahasa ayat lain:

    Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama
    Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah
    kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121).

MAKANAN                                                  (2/3)
 
Dari   sini,  lahir  pembahasan  panjang  lebar  --yang  dapat
ditemukan  dalam  buku-buku  fiqih--   tentang   syarat-syarat
"penyembelihan"  yang  harus  dipenuhi  bagi kehalalan memakan
binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan
dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c)
anggota  tubuh  binatang  yang  harus  disembelih,  (d)   alat
penyembelihan.
 
Al-Quran  secara  eksplisit berbicara tentang butir a dan b di
atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d.
 
Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa,
 
    Makanan (sembelihan) Ahl Al-Kitab halal untuk kamu
 
Dari ayat  ini,  para  ulama  menyimpulkan  bahwa  penyembelih
haruslah  dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl
Al-Kitab (Yahudi/Nasrani).
 
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama  tentang
siapa  yang  dimaksud  dengan  Ahl  Al-Kitab,  dan apakah umat
Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai  Ahl
Al-Kitab.  Dan  apakah  selain  dari  mereka, seperti penganut
agama Budha dan  Hindu,  dapat  dimasukkan  ke  dalamnya  atau
tidak?  Betapapun,  mayoritas  ulama menilai bahwa hingga kini
penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar
tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap
halal, jika  memenuhi  syarat-syarat  yang  lain.  Salah  satu
syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih
binatang atas nama selain Allah.
 
Dalam konteks ini, sekali  lagi  kita  menemukan  rincian  dan
perbedaan  penafsiran  para  ulama,  menyangkut wajib tidaknya
menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan  bagaimana  dengan
Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,
 
    Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut
    nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman
    kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan
    (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah
    ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan
    kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu...
    (QS Al-An'am [6): 118-119).
 
Apakah  ayat  ini  berbicara  tentang  keharusan menyebut nama
Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat
yang  dinisbahkan  kepada  Imam  Ahmad  berpendapat  demikian.
Pendapatnya  ini  didukung  oleh  adanya  ayat  yang  melarang
memakan   sembelihan  yang  tidak  disebut  nama  Allah  serta
menilainya sebagai kefasikan:
 
    Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak
    disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya
    yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]:
    121).
 
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan
pendapat  di  atas,  hanya  saja  mereka  memberi  kelonggaran
sehingga menurut mereka, kalau  seseorang  lupa  membaca  nama
Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.
 
Ma~hab  Syafi'i  berpendapat  bahwa tidak disyaratkan menyebut
nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:
 
1 . Ayat yang membolehkan  memakan  sembelihan  Ahl  Al-Kitab,
sementara  mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam
penyembelihan,  namun  demikian  dihalalkan  untuk  kita,  ini
menunjukkan  bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat
yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban.  Atau,
dengan  kata  lain,  penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya
penyembelihan.
 
2. Hadis Rasul Saw., yang diriwayatkan  oleh  Bukhari  melalui
istri  Nabi  Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada
Nabi Saw. tentang daging  yang  mereka  tidak  ketahui  apakah
dibacakan  nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi
menjawab,
 
    Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah.
    Ketika itu para penanya, menurut Aisyah, baru saja
    melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan
    oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri
    Nabi Saw., Aisyah).
 
Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan  dengan  ini,  namun
secara  objektif  kita  dapat  berkata  bahwa tuntunan di atas
mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca  nama  Allah
ketika  menyembelih,  walaupun  tidak  harus dengan bismillah,
tetapi cukup dengan menyebut salah satu  nama-Nya  sebagaimana
pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
 
Walaupun   mazhab   Syafi'i  membolehkan  penyembelihan  tanpa
menyebut nama Allah, atau selama tidak  disembelih  atas  nama
selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab,
bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid  Ridha  menilai  halal
sembelihan  penganut  agama Budha, namun itu bukan serta merta
menjadikan  segala  macam  sembelihan  mereka  menjadi  halal.
Karena  masih  ada  syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang
masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa
cara yang tidak direstuinya, seperti:
 
    Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
    dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera
    disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang
    disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3).
 
Perlu  dicatat  bahwa  penyembelihan  yang dilakukan sementara
orang  ketika  membangun  bangunan  kemudian  menanam   kepala
binatang   yang   disembelih  itu  dengan  tuduan  menghindari
"gangguan makhluk halus"  merupakan  salah  satu  bentuk  dari
penyembelihan atas nama berhala.
 
3. Makanan olahan. Seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan,
bahwa minuman merupakan salah satu jenis  makanan,  maka  atas
dasar itu kita dapat berkata bahwa khamr (sesuatu yang menutup
pikiran] merupakan salah satu jenis makanan pula.
 
Al-Quran menegaskan bahwa:
 
    Dan dari buah kurma dan anggur kamu buat olah minuman
    yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada
    yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi
    orang yang memikirkan (QS Al-Nahl [16]: 67).
 
Ayat ini merupakan ayat pertama  yang  turun  tentang  makanan
olahan  yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat
pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya.
Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan olahan "memabukkan"
dan jenis makanan olahan yang baik sehingga  merupakan  rezeki
yang baik.
 
Pengharaman  segala  yang memabukkan dilakukan Al-Quran secara
bertahap; bermula di Makkah  dari  isyarat  yang  diberikannya
pada  ayat  di  atas, disusul dengan pernyataan tentang adanya
sisi baik dan buruk pada perjudian dan  khamr  yang  turun  di
Madinah  (QS  Al-Baqarah  [2]:  219): Mereka bertanya kepadamu
tentang khamr dan judi, jawablah bahwa dalam keduanya ada dosa
yang  besar dan manfaat untuk manusia. Dosanya lebih besar dan
manfaatnya. Disusul dengan  larangan  tegas  mendekati  shalat
bila dalam keadaan mabuk sehingga kamu menyadari apa yang kamu
ucapkan (QS Al-Nisa' [4]: 43), dan diakhiri dengan  pernyataan
tegas bahwa:
 
    Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
    khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
    nasib dengan panah, adalah perbuatan rijs (keji)
    termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
    perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung (QS
    Al-Ma-idah [5]: 90).
 
Khamr  terambil  dari  kata  khamara  yang  menurut pengertian
kebahasaan adalah "menutup". Karena itu, makanan  dan  minuman
yang  dapat  mengantar  kepada  tertutupnya  akal dinamai juga
khamr.
 
Sementara ulama menyatakan bahwa khamr adalah "perahan  anggur
yang  mendidih  atau  yang  dimasak". Abu Hanifah, Ats-Tsauri,
Ibnu Abi Laila, Ibnu  Syubrumah,  semuanya  berpendapat  bahwa
sesuatu  yang  memabukkan  bila  diminum  banyak, selama tidak
terbuat dari anggur, maka bila diminum sedikit dan atau  tidak
memabukkan maka dia dapat ditoleransi.
 
Pendapat  ini ditolak oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat
bahwa apa pun yang memabukkan, menutup  akal  atau  menjadikan
seseorang  tidak  dapat  mengendalikan  pikirannya walau bukan
terbuat dari anggur,  maka  dia  adalah  haram.  Pendapat  ini
antara lain berdasar sabda Rasul Saw. yang menyatakan:
 
    Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang
    memabukkan adalah khamr (HR Muslim melalui Ibnu Umar).
 
Di  sisi  lain  Imam  At-Tirmidzi,  An-Nasa'i,  dan  Abu  Daud
meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Jabir  bin  Abdillah  bahwa
Nabi Saw. bersabda:
 
    Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun
    tetap haram.
 
Dari   pengertian   kata  khamr  dan  esensinya  seperti  yang
dikemukakan di atas, maka segala  macam  makanan  dan  minuman
terolah  atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah
haram.
 
PESAN-PESAN AL-QURAN MENGENAI MAKANAN
 
Seperti  dikemukakan  di  atas,   ketika   berbicara   tentang
"perintah   makan",  Allah  Swt.  memerintahkan  agar  manusia
memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
 
Kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas"  atau
"tidak  terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari
ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.  Karena  itu  kata  "halal"
juga  berarti  "boleh".  Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup
segala sesuatu  yang  dibolehkan  agama,  baik  kebolehan  itu
bersifat  sunnah,  anjuran  untuk  dilakukan,  makruh (anjuran
untuk ditinggalkan) maupun  mubah  (netral/boleh-boleh  saja).
Karena  itu  boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi
tidak dianjurkannya, atau dengan kata  lain  hukumnya  makruh.
Nabi Saw. misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila
ia  baru  saja  memakan  bawang.  Nabi  bersabda   sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib:
 
    Rasul Saw. melarang memakan bawang putith kecuali
    setelah dimasak.
 
Dalam   riwayat   At-Tirmidzi   dikemukakan   bahwa  seseorang
bertanya: Apakah itu haram? Beliau menjawab:
 
    Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya.
 
Kata thayyib dari segi  bahasa  berarti  lezat,  baik,  sehat,
menenteramkan,  dan  paling  utama.  Pakar-pakar tafsir ketika
menjelaskan kata ini dalam konteks perintah  makan  menyatakan
bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau
rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga  yang
mengartikannya  sebagai  makanan  yang  mengundang selera bagi
yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.
Kita  dapat  berkata  bahwa  kata thayyib dalam makanan adalah
makanan yang sehat, proporsional, dan aman.  Tentunya  sebelum
itu adalah halal.
 
a.  Makanan  yang  sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi
yang cukup dan  seimbang.  Dalam  Al-Quran  disebutkan  sekian
banyak  jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan,
misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]:  27),  pangan  hewani
(QS  Ghafir [40]: 79), ikan (QS Al-Nahl [16]: 14), buah-buahan
(QS Al-Mutminun [23]: 19; Al-An'am [6]: 14l), lemak dan minyak
(QS  Al-Mu'minun  [23]:  21),  madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan
lain-lain. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini,  menuntut
kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
 
b.  Proporsional,  dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan,
tidak berlebih,  dan  tidak  berkurang.  Karena  itu  Al-Quran
menuntut  orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya
dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang
ideal.
 
    Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun
    sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan
    penyusuan (QS Al-Baqarah [2]: 233).
 
Dalam  konteks  ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna
firman Allah:
 
    Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
    mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah
    halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas.
    Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
    melampaui batas (QS Al-Maidah [5]: 87).
MAKANAN                                                  (3/3)
 
"Mengharamkan yang baik dan halal" mengandung arti  mengurangi
kebutuhan,  sedang  "melampaui  batas"  berarti meebihkan dari
yang wajar. Demikian terlihat Al-Quran dalam uraiannya tentang
makan  menekankan  perlunya  "sikap  proporsional"  itu. Makna
terakhir ini sejalan dengan ayat yang  lain  yang  petunjuknya
lebih jelas, yaitu:
 
    Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
    Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang
    berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
 
Rasul menjelaskan bahwa:
 
    Termasuk berlebih-lebihan (bila) Anda makan apa yang
    Anda tidak ingini.
 
Dalam hadis lain Rasul Saw. mengingatkan:
 
    Tidak ada yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari
    perut, cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang
    dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhkan
    perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan,
    sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan
    (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi melalui
    sahabat Nabi Miqdam bin Ma'di Karib).
 
c.  Aman.  Tuntunan  perlunya  makanan  yang aman, antara lain
dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Ma-idah (5): 88 yang
menyatakan,
 
    Dan makanlah dan apa yang direzekikan Allah kepada
    kamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu percaya
    terhadap-Nya.
 
Dirangkaikannya   perintah   makan  di  sini  dengan  perintah
bertakwa,  menuntun   dan   menuntut   agar   manusia   selalu
memperhatikan   sisi   takwa   yang  intinya  adalah  berusaha
menghindar  dari   segala   yang   mengakibatkan   siksa   dan
terganggunya rasa aman.
 
Takwa   dari   segi   bahasa  berarti  "keterhindaran",  yakni
keterhindaran dari  siksa  Tuhan,  baik  di  dunia  maupun  di
akhirat.  Siksa  Tuhan  di  dunia  adalah  akibat  pelanggaran
terhadap hukum-hukum (Tuhan yang berlaku di) alam ini,  sedang
siksa-Nya   di  akhirat  adalah  akibat  pelanggaran  terhadap
hukum-hukum syariat.  Hukum  Tuhan  di  dunia  yang  berkaitan
dengan makanan misalnya adalah: siapa yang makan makanan kotor
atau  berkuman,  maka  dia  akan  menderita  sakit.   Penyakit
--akibat  pelanggaran  ini-- adalah siksa Allah di dunia. Jika
demikian, maka perintah  bertakwa  pada  sisi  duniawinya  dan
dalam  konteks  makanan,  menuntut  agar  setiap  makanan yang
dicerna tidak mengakibatkan penyakit  atau  dengan  kata  lain
memberi  keamanan  bagi pemakannya. Ini tentu di samping harus
memberinya keamanan bagi kehidupan ukhrawinya.
 
Penggalan surat Al-Nisa' (4): 4 mengingatkan:
 
    Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya (QS
    Al-Nisa' [4]: 4)
 
Ayat ini walaupun tidak turun dalam konteks  petunjuk  tentang
makanan,  tetapi  penggunaan  kata  akala yang pada prinsipnya
berarti "makan" dapat dijadikan petunjuk bahwa memakan sesuatu
hendaknya yang sedap serta berakibat baik.
 
Pada  akhirnya  kita  dapat  menyimpulkan  pesan Allah tentang
makan dan makanan dengan firman-Nya dalam surat Al-An'am  (6):
142 setelah menyebut berbagai jenis makanan nabati dan hewani:
 
    Makanlah apa yang direzekikan Allah dan jangan ikuti
    langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh
    kamu yang sangat nyata.
 
PENGARUH MAKANAN
 
Tidak  dapat  disangkal  bahwa makanan mempunyai pengaruh yang
sangat  besar  terhadap  pertumbuhan  dan  kesehatan   jasmani
manusia.  Persoalan  yang  akan  diketengahkan  di sini adalah
pengaruhnya terhadap jiwa manusia.
 
Al-Harali seorang ulama besar (w. 1232  M)  berpendapat  bahwa
jenis   makanan   dan  minuman  dapat  mempengaruhi  jiwa  dan
sifat-sifat  mental   pemakannya.   Ulama   ini   menyimpulkan
pendapatnya   tersebut  dengan  menganalisis  kata  rijs  yang
disebutkan Al-puran sebagai alasan untuk mengharamkan  makanan
tertentu,  seperti keharaman minuman keras (QS Al-Ma-idah [5]:
90) bangkai, darah, dan daging babi (QS Al-An'am [6]: 145).
 
Kata rijs menurutnya mengandung arti "keburukan  budi  pekerti
serta  kebobrokan  moral".  Sehingga,  apabila  Allah menyebut
jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs,  maka  ini
berarti  bahwa  makanan  tersebut  dapat menimbulkan keburukan
budi pekerti.
 
Memang   kata    ini    juga    digunakan    Al-Quran    untuk
perbuatan-perbuatan buruk yang menggambarkan kebejatan mental,
seperti judi dan penyembahan berhala (QS Al-Maidah  [5]:  90).
Dengan  demikian,  pendapat Al-Harali di atas, cukup beralasan
ditinjau dari segi bahasa dan penggunaan Al-Quran.
 
Sejalan  dengan  pendapat  di  atas   adalah   pendapat   yang
dikemukakan   oleh  seorang  ulama  kontemporer,  Syaikh  Taqi
Falsafi, dalam bukunya Child between Heredity  and  Education.
Dalam  buku  ini,  dia  menguatkan pendapatnya dengan mengutip
Alexis  Carrel,  pemenang  hadiah  Nobel  Kedokteran.   Carrel
menulis  dalam  bukunya  Man  the Unknown lebih kurang sebagai
berikut:
 
    Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung
    oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran
    manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum
    lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak
    dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
    kualitas dan kuantitas makanan.
 
Nah jika demikian, terlihat bahwa  makanan  memiliki  pengaruh
yang  besar  bukan  saja  terhadap jasmani manusia tetapi juga
jiwa dan perasaannya. Beberapa  penelitian  menunjukkan  bahwa
minuman   keras  merupakan  langkah  awal  yang  mengakibatkan
langkah-langkah  berikut  dari   para   penjahat.   Hal   ini,
disebabkan  antara  lain  oleh pengaruh minuman tersebut dalam
jiwa dan pikirannya.
 
Dalam konteks agama, tidak  dapat  diragukan  adanya  pengaruh
makanan  terhadap  selain  jasmani. Rasulullah Saw. mengaitkan
antara terkabulnya doa dengan makanan halal.  Beliau  bersabda
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:
 
    Wahai seluruh manusia. Sesungguhnya Allah Mahabaik. Dia
    tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia
    memerintahkan kaum mukmin sebagaimana memerintahkan
    para Rasul dengan firman-Nya, "Wahai Rasul, makanlah
    rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu".
    (Kata perawi) Rasul kemudian menjelaskan seorang
    pejalan kaki, kumal, dan kotor, menengadahkan kedua
    tangannya ke langit berdoa, "Wahai Tuhan, Wahai Tuhan
    ... (tetapi) makanannya haram, minumannya haram,
    pakaiannya haram, makan dari barang haram, maka
    bagaimana mungkin ia dikabulkan?"
 
Demikian, sebagian dari dampak makanan terhadap manusia.
 
MENGAPA BINATANG ATAU MAKANAN TERTENTU DIHARAMKAN?
 
Banyak   analisis   yang   dikemukakan   para   pakar  tentang
sebab-sebab  diharamkannya  binatang  atau  makanan  tertentu.
Babi, misalnya, dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan
cacing  yang  sangat  berbahaya  terhadap  kesehatan  manusia.
Tenasolium  adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak
dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan meter.
Pada 1968 ditemukan sejenis kuman yang merupakan penyebab dari
kematian sekian banyak pasien di  Belanda  dan  Denmark.  Pada
1918,  flu Babi pernah menyerang banyak bagian dari dunia kita
dan menelan korban jutaan orang. Flu ini kembali  muncul  pada
1977,  dan  di  Amerika Serikat ketika itu dilakukan imunisasi
yang menelan biaya 135 juta  dolar.  Demikian  sekelumit  dari
bahaya  babi, sebagaimana dikemukakan oleh Faruq Musahil dalam
bukunya Tahrim Al-Khinzir fi Al-Islam.
 
Lemak   babi   mengandung   complicated   fats   antara   lain
triglycerides,  dan dagingnya mengandung kolestrol yang sangat
tinggi, mencapai lima  belas  kali  lipat  lebih  banyak  dari
daging    sapi.   Dalam   Encydopedia   Americana   dijelaskan
perbandingan antara  kadar  lemak  yang  terdapat  pada  babi,
domba,   dan   kerbau.  Dalam  kadar  berat  yang  sama,  babi
mengandung 50% lemak, domba 17%, dan kerbau tidak  lebih  dari
5%.  Demikian keterangan Ahmad Syauqi Al-Fanjari dalam bukunya
Ath-Thib Al-Wiqaiy fi Al-Islam.
 
Banyak lagi analisis dan  jawaban  yang  diberikan  menyangkut
sebab-sebab diharamkannya sekian banyak makanan. Bukan di sini
tempatnya, bahkan bukan penulis yang memiliki  otoritas  untuk
menjelaskannya.
 
Memang  kita  boleh  saja  bertanya,  dan atau mencari jawaban
tentang mengapa  Allah  Swt.  mengharamkan  makanan  tertentu.
Boleh  jadi  kita  puas  atau  tidak  puas dengan jawaban yang
diberikan, tetapi adalah  amat  bijaksana  jika  jawaban  yang
ditemukan  itu  --walau  sangat  memuaskan--  tidak  dijadikan
sebagai satu-satunya jawaban.
 
Imam  Al-Ghazali  memberikan   ilustrasi   menyangkut   'illat
(katakanlah  "sebab"  atau  "hikmah")  dari  larangan-larangan
Ilahi. "Seorang ayah memiliki anak  yang  tinggal  bersama  di
satu   rumah.   Sebelum   kematian   menjemputnya,  sang  ayah
mewasiatkan kepada anaknya: 'Jika engkau ingin  memugar  rumah
ini  silakan,  tetapi  tumbuhan yang terdapat di serambi rumah
jangan ditebang.' Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal,
dan  anak pun memperoleh rezeki yang memadai. Rumah dipugarnya
dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir,  'Apakah
gerangan  sebabnya  ayah  melarang  menebangnya?'  Pikirannya,
kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum.
Dan di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan tumbuhan
lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia  pun  memutuskan
menebang tumbuhan itu dan menggantikannya dengan tumbuhan yang
lebih sedap. Tetapi apa  yang  terjadi?  Tidak  lama  kemudian
muncul  seekor  ular, yang hampir saja menerkamnya, dan ketika
itu ia sadar  bahwa  rupanya  aroma  tumbuhan  itu,  merupakan
penangkal  kehadiran  ular.  Ia hanya mengetahui sebagian dari
'illat larangan ayahnya' bukan  semuanya,  bahkan  bukan  yang
terpenting  darinya."  Demikian  lebih  kurang  ilustrasi Imam
Al-Ghazali.
 
Demikian  sedikit  dari  banyak  petunjuk   Al-Quran   tentang
makanan.  Kita  dapat  menyimpulkan bahwa Al-Quran merintahkan
kepada kita untuk makan yang halal  dan  thayyib,  serta  yang
lezat tetapi baik akibatnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar