Kriteria
Makanan Halal Menurut Al-Quran dan As-Sunnah
Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan[1] yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:
Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan[1] yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:
أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ
“Daging
mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas
untuknya”.
Makanan
yang haram dalam Islam ada dua jenis:
- Ada yang
diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang
sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya.
- Ada yang
diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya.
Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram
karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut.
Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan,
makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain
sebagainya.
Satu
hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa apa-apa
yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka disitu ada kecukupan bagi mereka
(manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram.
[Muqaddimah
Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal
Ath'imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya
Al-Fauzan]
Sebelum
kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang disebutkan dalam
Al-Qur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing, maka untuk lebih membantu
memahami pembahasan, kami dahului dengan beberapa pendahuluan.
- Pendahuluan
Pertama:
Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang
menyatakan haramnya.
Allah
-Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah:
29)
Ayat
ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah
nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan
boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.
Dalam
ayat yang lain:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)
Faidah:
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi
seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah
menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam
ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Tidak
ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena
memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah:
93)
Karenanya
tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan digunakan untuk
maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang yang akan minum-minum khamar
atau akan menggunakannya dalam kejelekan”[3].
- Pendahuluan
Kedua: Manhaj
Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah “Islam
menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung
mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan yang
haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang
mengandung mudhorot”.
Manhaj
ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi”. (QS.
Al-Baqarah: 168)
Dan
Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk”. (QS.
Al-A’raf: 157)
Allah
melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan
diri, dalam firman-Nya:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah:
195)
Juga
sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak
boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.
Karenanya
diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri
-apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara
perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan
yang sejenisnya.
Adapun
makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara
sesama kalian adalah haram”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Faidah:
- Makna makanan
yang najis adalah jelas, adapun makanan yang ternajisi, contohnya adalah
mentega yang kejatuhan tikus. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- ditanya tentang lemak yang kejatuhan tikus, maka beliau
bersabda:
أُلْقُوْهَا, وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوْهُ، وَكُلُوْا سَمَنَكُمْ
“Buanglah
tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak
kalian”. (HR.
Al-Bukhary)
Jadi
jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya
adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun
sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah
makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah
satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis
sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.
- Makanan yang
jelek (arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena
dzatnya -seperti: darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah
dalam memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu‘
Al-Fatawa (20/334).
- Adapun ukuran
kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits
(jelek), maka hal ini dikembalikan kepada syari’at. Maka apa-apa yang
dihalalkan oleh syari’at maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang
diharamkan oleh syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah
madzhab Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau.
Adapun
jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam penentuannya
adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya diturunkan Al-Qur`an
sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara oleh syari’at. Lihat Hasyiyah
Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu‘ (9/25-26),
dan Asy-Syarhul Kabir (11/64).
Hanya
saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah -Ta’ala-:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka
menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah:
“Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4)
Beliau
berkata, “Seandainya makna “yang baik” di sini adalah apa yang dihalalkan,
maka tentunya kalimat ini tidak ada faidahnya[4]. Maka dari sini
diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits adalah sifat yang berada pada
sebuah benda, dan bukan yang diinginkan dengannya (thoyyib) sekedar kelezatan
dalam memakannya. Karena terkadang seorang manusia menikmati (merasa lezat)
dengan apa yang membahayakan dirinya yang berupa racun[5], atau menikmati apa
yang dilarang oleh dokter[6]. Dan bukan pula yang
diinginkan darinya (thoyyib) dengan merasa nikmatnya sebagian bangsa -misalnya
bangsa Arab- terhadap suatu makanan, dan bukan pula dianggap thoyyib karena
keberadaannya sebagai makanan yang biasa dimakan (dinikmati) oleh orang-orang
Arab. Hal itu karena, keberadaan suatu makanan biasa dimakan dan disenangi oleh
sebagian bangsa atau sebaliknya mereka tidak menyukainya karena makanan itu
tidak ada di negerinya, (semua ini) tidaklah mengharuskan Allah mengharamkan
sebuah makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian
bangsa) tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak mengharuskan Allah
menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka
(sebagian bangsa) terbiasa dengannya. Bagaimana tidak, padahal orang-orang Arab
(dahulu) telah terbiasa (menyukai) dengan memakan darah, bangkai, dan selainnya
padahal semuanya telah diharamkan oleh Allah -Ta’ala-. …. . Demikian halnya
Quraisy, mereka memakan yang khobits yang telah Allah haramkan dan
sebaliknya mereka tidak menyukai makanan-makanan yang Allah tidak
mengharamkannya”. -Lalu
beliau membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan biawak, bukan karena
dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa memakannya[7]-. “Maka
dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku Quraisy dan selainnya (dari bangsa
Arab) terhadap sebuah makanan tidaklah mengharuskan (baca: menunjukkan)
pengharaman makanan tersebut atas segenap kaum mu`minin baik yang Arab maupun
yang ajam (non-Arab). Dan juga sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
dan para sahabat beliau, tidak seorangpun di antara mereka yang mengharamkan
makanan yang tidak disukai oleh orang Arab dan sebaliknya tidak pernah
membolehkan apa yang (biasa) dimakan oleh orang Arab”[8].
- Pendahuluan
Ketiga: Makanan
manusia secara umum ada dua jenis:
- Selain hewan,
terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan
sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya).
Ibnu
Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil
kesepakatan ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot.
- Hewan, yang terdiri
dari hewan darat dan hewan air.
Hewan
darat juga terbagi menjadi dua;
- Jinak, yaitu
semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia,
seperti: hewan ternak
- Liar, yaitu
semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh
manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan,
dan sejenisnya.
Hukum
hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan oleh
syari’at[9], yang rinciannya
insya Allah akan datang satu persatu.
Hewan
air juga terbagi menjadi 2:
- Hewan yang hidup
di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah
ikan dan yang sejenisnya.
- Hewan yang hidup
di dua alam, seperti buaya dan kepiting[10].
Hukum
hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal
untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah,
mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah
firman Allah -Ta’ala-:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan
yang lezat bagimu” (QS.
Al-Ma`idah: 96)
Adapun
bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
- Jika dia mati
dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum,
dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan
kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir
(11/195)
- Jika dia mati
tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air,
maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur
dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa
hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia
(laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud,
At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh
Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah
(1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan
Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun
bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam, maka
pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan
bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang
sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya
kodok karena ada hadits yang mengharamkannya[11]. Lihat Al-Majmu‘
(9/32-33)
[1] Arab: tho’am,
kata yang mencakup di dalamnya makanan dan minuman. Lihat Tahdzibul
Asma` (2/186).
[2] Majmu‘
Fatawa Ibni Taimiyah (21/535)
[3] Al-Ikhtiyarot
hal. 321.
[4] Yakni karena berarti
ayatnya akan bermakna, “dihalalkan bagi kalian yang halal”, sehingga kalimatnya
tidak memiliki faidah tambahan.
[5] Seperti: narkoba
dengan semua jenisnya, rokok, dan selainnya.
[6] Yakni untuk
kesembuhannya dari sebuah penyakit.
[7] Akan datang
haditsnya pada point ke-19
[8] Majmu‘
Al-Fatawa (17/178-180) dan Al-Iktiyarot
hal. 321.
[9] Manhajus Salikin
(hal. 52)
[10] Lihat pembagian ini
dalam Tafsir Al-Qurthuby (6/318) dan Al-Majmu‘
(9/31-32)
[11] Akan datang dalil
pengharamannya pada penyebutan makanan yang ke-21.
o�A<001�� eight:
normal;tab-stops:45.8pt 91.6pt 137.4pt 183.2pt 229.0pt 274.8pt 320.6pt 366.4pt 412.2pt 458.0pt 503.8pt 549.6pt 595.4pt 641.2pt 687.0pt 732.8pt'>mengapung.
Makna ini dipahami dan sejalan dengan
penjelasan
Rasul Saw.
yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim,
At-Tirmidzi,
An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu
Hurairah
yang menyatakan tentang laut:
Laut adalah suci airnya dan halal
bangkainya
Ini menurut
banyak ulama sejalan
juga dengan firman Allah
dalam
surat Al-Ma-idah (5): 96.
Memang,
ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di
darat
dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan
para
ulama, apalagi ia bukan datang
dari Al-Quran, tetapi
riwayat
yang dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Adapun hewan
yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan
secara
eksplisit al-an'am (unta,
sapi, dan kambing),
dan
mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti
bahwa
selainnya
semua halal atau haram.
Seperti
yang diisyaratkan di atas, tentang
pengecualian dari
makanan yang
dihalalkan, dalam soal ini
ditemukan perbedaan
pendapat
ulama tentang hewan-hewan darat
yang dikecualikan
itu.
Imam Malik
misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut,
karena
berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan
kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi
orang-orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi
karena
sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau
binatang yang
disembelih atas nama selain Allah...
Ayat
ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram
dalam batas-batas
yang disebut itu,
apalagi masih ada
ayat-ayat
lain yang turun sesudah ayat ini yang
juga memberi
pembatasan
serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.
Imam
Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis
Nabi
yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat
tersebut. Karena
walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk
hashr
(pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud
sebagai
pengecualian hakiki.
Di
sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip
di
atas adalah karena ia rijs (kotor).
Walaupun
ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi
rijs
(kekotoran) baik
lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan
oleh
babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa
segala macam
binatang
yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah.
Di
sinilah antara lain fungsi Rasul
Saw. sebagai penjelas
kitab suci
Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi
Muhammad
Saw. antara 1ain sebagai:
Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang
baik-baik, dan
mengharamkan yang khabits (buruk).
Nah,
atas dasar inilah dipertemukan
hadis-hadis Nabi yang
mengharamkan makanan-makanan tertentu
dengan ayat-ayat yang
menggunakan
redaksi pembatasan di atas.
Misalnya hadis yang
mengharamkan
semua binatang yang bertaring (buas), burung yang
memiliki
cakar (buas), binatang yang hidup
di darat dan di
air,
dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada
ayat yang lalu,
mengharamkan:
Memakan
sembelihan yang disembelih selain atas
nama Allah,
atau
dalam bahasa ayat lain:
Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak
disebut nama
Allah atasnya, karena yang demikian itu
adalah
kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121).
MAKANAN (2/3)
Dari sini, lahir pembahasan panjang lebar --yang dapat
ditemukan dalam buku-buku fiqih-- tentang syarat-syarat
"penyembelihan" yang harus dipenuhi bagi kehalalan memakan
binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan
dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c)
anggota tubuh binatang yang harus disembelih, (d) alat
penyembelihan.
Al-Quran secara eksplisit berbicara tentang butir a dan b di
atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d.
Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa,
Makanan (sembelihan) Ahl Al-Kitab halal untuk kamu
Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih
haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl
Al-Kitab (Yahudi/Nasrani).
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang
siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab, dan apakah umat
Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl
Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut
agama Budha dan Hindu, dapat dimasukkan ke dalamnya atau
tidak? Betapapun, mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini
penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar
tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap
halal, jika memenuhi syarat-syarat yang lain. Salah satu
syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih
binatang atas nama selain Allah.
Dalam konteks ini, sekali lagi kita menemukan rincian dan
perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya
menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan
Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,
Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut
nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman
kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan
(binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan
kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu...
(QS Al-An'am [6): 118-119).
Apakah ayat ini berbicara tentang keharusan menyebut nama
Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat
yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad berpendapat demikian.
Pendapatnya ini didukung oleh adanya ayat yang melarang
memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah serta
menilainya sebagai kefasikan:
Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya
yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]:
121).
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan
pendapat di atas, hanya saja mereka memberi kelonggaran
sehingga menurut mereka, kalau seseorang lupa membaca nama
Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.
Ma~hab Syafi'i berpendapat bahwa tidak disyaratkan menyebut
nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:
1 . Ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahl Al-Kitab,
sementara mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam
penyembelihan, namun demikian dihalalkan untuk kita, ini
menunjukkan bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat
yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban. Atau,
dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya
penyembelihan.
2. Hadis Rasul Saw., yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui
istri Nabi Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada
Nabi Saw. tentang daging yang mereka tidak ketahui apakah
dibacakan nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi
menjawab,
Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah.
Ketika itu para penanya, menurut Aisyah, baru saja
melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan
oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri
Nabi Saw., Aisyah).
Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan dengan ini, namun
secara objektif kita dapat berkata bahwa tuntunan di atas
mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca nama Allah
ketika menyembelih, walaupun tidak harus dengan bismillah,
tetapi cukup dengan menyebut salah satu nama-Nya sebagaimana
pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
Walaupun mazhab Syafi'i membolehkan penyembelihan tanpa
menyebut nama Allah, atau selama tidak disembelih atas nama
selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab,
bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menilai halal
sembelihan penganut agama Budha, namun itu bukan serta merta
menjadikan segala macam sembelihan mereka menjadi halal.
Karena masih ada syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang
masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa
cara yang tidak direstuinya, seperti:
Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera
disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang
disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3).
Perlu dicatat bahwa penyembelihan yang dilakukan sementara
orang ketika membangun bangunan kemudian menanam kepala
binatang yang disembelih itu dengan tuduan menghindari
"gangguan makhluk halus" merupakan salah satu bentuk dari
penyembelihan atas nama berhala.
3. Makanan olahan. Seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan,
bahwa minuman merupakan salah satu jenis makanan, maka atas
dasar itu kita dapat berkata bahwa khamr (sesuatu yang menutup
pikiran] merupakan salah satu jenis makanan pula.
Al-Quran menegaskan bahwa:
Dan dari buah kurma dan anggur kamu buat olah minuman
yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi
orang yang memikirkan (QS Al-Nahl [16]: 67).
Ayat ini merupakan ayat pertama yang turun tentang makanan
olahan yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat
pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya.
Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan olahan "memabukkan"
dan jenis makanan olahan yang baik sehingga merupakan rezeki
yang baik.
Pengharaman segala yang memabukkan dilakukan Al-Quran secara
bertahap; bermula di Makkah dari isyarat yang diberikannya
pada ayat di atas, disusul dengan pernyataan tentang adanya
sisi baik dan buruk pada perjudian dan khamr yang turun di
Madinah (QS Al-Baqarah [2]: 219): Mereka bertanya kepadamu
tentang khamr dan judi, jawablah bahwa dalam keduanya ada dosa
yang besar dan manfaat untuk manusia. Dosanya lebih besar dan
manfaatnya. Disusul dengan larangan tegas mendekati shalat
bila dalam keadaan mabuk sehingga kamu menyadari apa yang kamu
ucapkan (QS Al-Nisa' [4]: 43), dan diakhiri dengan pernyataan
tegas bahwa:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan rijs (keji)
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung (QS
Al-Ma-idah [5]: 90).
Khamr terambil dari kata khamara yang menurut pengertian
kebahasaan adalah "menutup". Karena itu, makanan dan minuman
yang dapat mengantar kepada tertutupnya akal dinamai juga
khamr.
Sementara ulama menyatakan bahwa khamr adalah "perahan anggur
yang mendidih atau yang dimasak". Abu Hanifah, Ats-Tsauri,
Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, semuanya berpendapat bahwa
sesuatu yang memabukkan bila diminum banyak, selama tidak
terbuat dari anggur, maka bila diminum sedikit dan atau tidak
memabukkan maka dia dapat ditoleransi.
Pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat
bahwa apa pun yang memabukkan, menutup akal atau menjadikan
seseorang tidak dapat mengendalikan pikirannya walau bukan
terbuat dari anggur, maka dia adalah haram. Pendapat ini
antara lain berdasar sabda Rasul Saw. yang menyatakan:
Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang
memabukkan adalah khamr (HR Muslim melalui Ibnu Umar).
Di sisi lain Imam At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Abu Daud
meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Jabir bin Abdillah bahwa
Nabi Saw. bersabda:
Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun
tetap haram.
Dari pengertian kata khamr dan esensinya seperti yang
dikemukakan di atas, maka segala macam makanan dan minuman
terolah atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah
haram.
PESAN-PESAN AL-QURAN MENGENAI MAKANAN
Seperti dikemukakan di atas, ketika berbicara tentang
"perintah makan", Allah Swt. memerintahkan agar manusia
memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
Kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas" atau
"tidak terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari
ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata "halal"
juga berarti "boleh". Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup
segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu
bersifat sunnah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran
untuk ditinggalkan) maupun mubah (netral/boleh-boleh saja).
Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi
tidak dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh.
Nabi Saw. misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila
ia baru saja memakan bawang. Nabi bersabda sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib:
Rasul Saw. melarang memakan bawang putith kecuali
setelah dimasak.
Dalam riwayat At-Tirmidzi dikemukakan bahwa seseorang
bertanya: Apakah itu haram? Beliau menjawab:
Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya.
Kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat,
menenteramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika
menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan
bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau
rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga yang
mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi
yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.
Kita dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah
makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya sebelum
itu adalah halal.
a. Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi
yang cukup dan seimbang. Dalam Al-Quran disebutkan sekian
banyak jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan,
misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]: 27), pangan hewani
(QS Ghafir [40]: 79), ikan (QS Al-Nahl [16]: 14), buah-buahan
(QS Al-Mutminun [23]: 19; Al-An'am [6]: 14l), lemak dan minyak
(QS Al-Mu'minun [23]: 21), madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan
lain-lain. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini, menuntut
kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
b. Proporsional, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan,
tidak berlebih, dan tidak berkurang. Karena itu Al-Quran
menuntut orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya
dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang
ideal.
Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun
sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan
penyusuan (QS Al-Baqarah [2]: 233).
Dalam konteks ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna
firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas (QS Al-Maidah [5]: 87).
MAKANAN (3/3)
"Mengharamkan yang baik dan halal" mengandung arti mengurangi
kebutuhan, sedang "melampaui batas" berarti meebihkan dari
yang wajar. Demikian terlihat Al-Quran dalam uraiannya tentang
makan menekankan perlunya "sikap proporsional" itu. Makna
terakhir ini sejalan dengan ayat yang lain yang petunjuknya
lebih jelas, yaitu:
Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang
berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
Rasul menjelaskan bahwa:
Termasuk berlebih-lebihan (bila) Anda makan apa yang
Anda tidak ingini.
Dalam hadis lain Rasul Saw. mengingatkan:
Tidak ada yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari
perut, cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang
dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhkan
perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan,
sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan
(HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi melalui
sahabat Nabi Miqdam bin Ma'di Karib).
c. Aman. Tuntunan perlunya makanan yang aman, antara lain
dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Ma-idah (5): 88 yang
menyatakan,
Dan makanlah dan apa yang direzekikan Allah kepada
kamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu percaya
terhadap-Nya.
Dirangkaikannya perintah makan di sini dengan perintah
bertakwa, menuntun dan menuntut agar manusia selalu
memperhatikan sisi takwa yang intinya adalah berusaha
menghindar dari segala yang mengakibatkan siksa dan
terganggunya rasa aman.
Takwa dari segi bahasa berarti "keterhindaran", yakni
keterhindaran dari siksa Tuhan, baik di dunia maupun di
akhirat. Siksa Tuhan di dunia adalah akibat pelanggaran
terhadap hukum-hukum (Tuhan yang berlaku di) alam ini, sedang
siksa-Nya di akhirat adalah akibat pelanggaran terhadap
hukum-hukum syariat. Hukum Tuhan di dunia yang berkaitan
dengan makanan misalnya adalah: siapa yang makan makanan kotor
atau berkuman, maka dia akan menderita sakit. Penyakit
--akibat pelanggaran ini-- adalah siksa Allah di dunia. Jika
demikian, maka perintah bertakwa pada sisi duniawinya dan
dalam konteks makanan, menuntut agar setiap makanan yang
dicerna tidak mengakibatkan penyakit atau dengan kata lain
memberi keamanan bagi pemakannya. Ini tentu di samping harus
memberinya keamanan bagi kehidupan ukhrawinya.
Penggalan surat Al-Nisa' (4): 4 mengingatkan:
Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya (QS
Al-Nisa' [4]: 4)
Ayat ini walaupun tidak turun dalam konteks petunjuk tentang
makanan, tetapi penggunaan kata akala yang pada prinsipnya
berarti "makan" dapat dijadikan petunjuk bahwa memakan sesuatu
hendaknya yang sedap serta berakibat baik.
Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan pesan Allah tentang
makan dan makanan dengan firman-Nya dalam surat Al-An'am (6):
142 setelah menyebut berbagai jenis makanan nabati dan hewani:
Makanlah apa yang direzekikan Allah dan jangan ikuti
langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh
kamu yang sangat nyata.
PENGARUH MAKANAN
Tidak dapat disangkal bahwa makanan mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmani
manusia. Persoalan yang akan diketengahkan di sini adalah
pengaruhnya terhadap jiwa manusia.
Al-Harali seorang ulama besar (w. 1232 M) berpendapat bahwa
jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan
sifat-sifat mental pemakannya. Ulama ini menyimpulkan
pendapatnya tersebut dengan menganalisis kata rijs yang
disebutkan Al-puran sebagai alasan untuk mengharamkan makanan
tertentu, seperti keharaman minuman keras (QS Al-Ma-idah [5]:
90) bangkai, darah, dan daging babi (QS Al-An'am [6]: 145).
Kata rijs menurutnya mengandung arti "keburukan budi pekerti
serta kebobrokan moral". Sehingga, apabila Allah menyebut
jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs, maka ini
berarti bahwa makanan tersebut dapat menimbulkan keburukan
budi pekerti.
Memang kata ini juga digunakan Al-Quran untuk
perbuatan-perbuatan buruk yang menggambarkan kebejatan mental,
seperti judi dan penyembahan berhala (QS Al-Maidah [5]: 90).
Dengan demikian, pendapat Al-Harali di atas, cukup beralasan
ditinjau dari segi bahasa dan penggunaan Al-Quran.
Sejalan dengan pendapat di atas adalah pendapat yang
dikemukakan oleh seorang ulama kontemporer, Syaikh Taqi
Falsafi, dalam bukunya Child between Heredity and Education.
Dalam buku ini, dia menguatkan pendapatnya dengan mengutip
Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran. Carrel
menulis dalam bukunya Man the Unknown lebih kurang sebagai
berikut:
Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung
oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran
manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum
lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak
dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
kualitas dan kuantitas makanan.
Nah jika demikian, terlihat bahwa makanan memiliki pengaruh
yang besar bukan saja terhadap jasmani manusia tetapi juga
jiwa dan perasaannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
minuman keras merupakan langkah awal yang mengakibatkan
langkah-langkah berikut dari para penjahat. Hal ini,
disebabkan antara lain oleh pengaruh minuman tersebut dalam
jiwa dan pikirannya.
Dalam konteks agama, tidak dapat diragukan adanya pengaruh
makanan terhadap selain jasmani. Rasulullah Saw. mengaitkan
antara terkabulnya doa dengan makanan halal. Beliau bersabda
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Wahai seluruh manusia. Sesungguhnya Allah Mahabaik. Dia
tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia
memerintahkan kaum mukmin sebagaimana memerintahkan
para Rasul dengan firman-Nya, "Wahai Rasul, makanlah
rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu".
(Kata perawi) Rasul kemudian menjelaskan seorang
pejalan kaki, kumal, dan kotor, menengadahkan kedua
tangannya ke langit berdoa, "Wahai Tuhan, Wahai Tuhan
... (tetapi) makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, makan dari barang haram, maka
bagaimana mungkin ia dikabulkan?"
Demikian, sebagian dari dampak makanan terhadap manusia.
MENGAPA BINATANG ATAU MAKANAN TERTENTU DIHARAMKAN?
Banyak analisis yang dikemukakan para pakar tentang
sebab-sebab diharamkannya binatang atau makanan tertentu.
Babi, misalnya, dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan
cacing yang sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia.
Tenasolium adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak
dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan meter.
Pada 1968 ditemukan sejenis kuman yang merupakan penyebab dari
kematian sekian banyak pasien di Belanda dan Denmark. Pada
1918, flu Babi pernah menyerang banyak bagian dari dunia kita
dan menelan korban jutaan orang. Flu ini kembali muncul pada
1977, dan di Amerika Serikat ketika itu dilakukan imunisasi
yang menelan biaya 135 juta dolar. Demikian sekelumit dari
bahaya babi, sebagaimana dikemukakan oleh Faruq Musahil dalam
bukunya Tahrim Al-Khinzir fi Al-Islam.
Lemak babi mengandung complicated fats antara lain
triglycerides, dan dagingnya mengandung kolestrol yang sangat
tinggi, mencapai lima belas kali lipat lebih banyak dari
daging sapi. Dalam Encydopedia Americana dijelaskan
perbandingan antara kadar lemak yang terdapat pada babi,
domba, dan kerbau. Dalam kadar berat yang sama, babi
mengandung 50% lemak, domba 17%, dan kerbau tidak lebih dari
5%. Demikian keterangan Ahmad Syauqi Al-Fanjari dalam bukunya
Ath-Thib Al-Wiqaiy fi Al-Islam.
Banyak lagi analisis dan jawaban yang diberikan menyangkut
sebab-sebab diharamkannya sekian banyak makanan. Bukan di sini
tempatnya, bahkan bukan penulis yang memiliki otoritas untuk
menjelaskannya.
Memang kita boleh saja bertanya, dan atau mencari jawaban
tentang mengapa Allah Swt. mengharamkan makanan tertentu.
Boleh jadi kita puas atau tidak puas dengan jawaban yang
diberikan, tetapi adalah amat bijaksana jika jawaban yang
ditemukan itu --walau sangat memuaskan-- tidak dijadikan
sebagai satu-satunya jawaban.
Imam Al-Ghazali memberikan ilustrasi menyangkut 'illat
(katakanlah "sebab" atau "hikmah") dari larangan-larangan
Ilahi. "Seorang ayah memiliki anak yang tinggal bersama di
satu rumah. Sebelum kematian menjemputnya, sang ayah
mewasiatkan kepada anaknya: 'Jika engkau ingin memugar rumah
ini silakan, tetapi tumbuhan yang terdapat di serambi rumah
jangan ditebang.' Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal,
dan anak pun memperoleh rezeki yang memadai. Rumah dipugarnya
dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir, 'Apakah
gerangan sebabnya ayah melarang menebangnya?' Pikirannya,
kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum.
Dan di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan tumbuhan
lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia pun memutuskan
menebang tumbuhan itu dan menggantikannya dengan tumbuhan yang
lebih sedap. Tetapi apa yang terjadi? Tidak lama kemudian
muncul seekor ular, yang hampir saja menerkamnya, dan ketika
itu ia sadar bahwa rupanya aroma tumbuhan itu, merupakan
penangkal kehadiran ular. Ia hanya mengetahui sebagian dari
'illat larangan ayahnya' bukan semuanya, bahkan bukan yang
terpenting darinya." Demikian lebih kurang ilustrasi Imam
Al-Ghazali.
Demikian sedikit dari banyak petunjuk Al-Quran tentang
makanan. Kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Quran merintahkan
kepada kita untuk makan yang halal dan thayyib, serta yang
lezat tetapi baik akibatnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar